Sejarah Gudeg, Kuliner Khas Yogyakarta Yang Harus Kamu Ketahui!

Gudeg

Gudeg merupakan kuliner khas dari Yogyakarta. Kota-kota lain di sekitarnya juga punya resep gudeg. Namun bagi warga luar Yogyakarta dan Jawa Tengah, gudeg selalu identik dengan Jogja. Mungkin tak banyak yang tahu, makanan ini punya sejarah yang cukup unik.

Masakan yang disebut gudeg dibuat baccarat casino dari nangka muda yang dimasak gula jawa, santan, dan rempah selama berjam-jam. Hasil akhirnya adalah potongan-potongan nangka yang lembut, berwarna cokelat, dan sedikit terkaramelisasi. Rasanya dominan manis legit dengan sedikit rasa gurih dari santan dan garam.

Gudeg biasanya disajikan komplet bersama nasi, telur pindang, opor ayam, tahu atau tempe bacem, dan sambal goreng kerecek manis. Masih ditambah siraman areh pula. Ciri khas penyajiannya adalah nasi dan lauk yang dialasi daun pisang. Dahulu kala, daun jati juga kerap digunakan sebagai alas.

Sejarah Gudeg

Menurut sejarahnya, seperti dirangkum dari beritague.com, gudeg sudah muncul sejak tahun 1500-an. Makanan ini hadir saat pembangunan Kerajaan Mataram di Alas Mentaok. Di wilayah tersebut banyak tertanam pohon nangka yang menghasilkan buah melimpah. Banyaknya buah nangka tersebut membuat masyarakat setempat memutar otak untuk mengolahnya menjadi berbagai macam sajian.

Terutama jenis nangka muda (gori) yang seringnya tak terpakai. Kemudian nangka muda tersebut diolah dengan cara direbus selama beberapa jam hingga teksturnya empuk. Dalam proses memasaknya tersebut nangka diberi tambahan bumbu sederhana seperti bawang putih, bawang merah, kemiri, biji ketumbar, lengkuas, daun salam, santan dan tentunya gula aren atau gula jawa. Warna kecokelatan dari gudeg pun dihasilkan oleh gula aren yang meresap ke dalam daging buahnya.

Gudeg Masa Awal Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram yang dibangun pada tahun 1500-an itu berada di wilayah yang memiliki banyak pohon nangka yang buahnya melimpah. Walhasil, rakyat Mataram saat itu mulai mencari cara untuk membuat masakan yang berbahan dasar nangka, terutama gori atau nangka muda.

Sebab, nangka tidak termasuk hasil pertanian yang diincar penjajah karena nilai jualnya rendah. Singkat cerita, ditemukan cara mengolah gori menjadi masakan. Yaitu dengan direbus cukup lama hingga teksturnya lembut, kemudian diberi bumbu rempah sederhana dan campuran kelapa.

Namun dalam jurnal karya dua peneliti dari Universitas Bunda Mulia itu, LS Mega Wijaya Kurniawati dan Rustono FM, tidak disebutkan kapan gori itu pertama kali dimasak. Jurnal itu hanya menyebutkan masakan dari ‘limbah nangka’ itu merupakan makanan rakyat biasa seperti prajurit atau buruh.

Karena dimasak dalam porsi besar untuk orang banyak, maka wadahnya pun menggunakan ember besar dari logam dan diaduk menggunakan alat yang menyerupai dayung perahu. “Teknik mengaduk ini dalam Bahasa Jawa disebut hangudek atau hangudeg, dan dari sinilah nama gudeg berasal hingga dikenal luas”.

Sejarah gudeg juga tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini.

Dikisahkan pada 1600-an saat Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten.

Di sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan, dan salah satunya adalah Gudeg.

Gudeg sejatinya bukanlah makanan yang berasal dari lingkungan kerajaan, melainkan dari masyarakat.

Meskipun demikian, untuk menjadi makanan tradisional yang setenar saat ini, perlu proses yang panjang.

Diungkapkan Murdijati Gardjito, karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.